Edatto’s Weblog

menjalin keindahan dalam bahasa

Arsip untuk November, 2007

surga kecil

surga kecil itu

di mata anak kecilku

surga kecil itu tersembunyi lekat

eratkan pelukan

surga kecil itu di mata

anak kecilku

dan surga kecil itu

dunia putihku

kanon sastra; menyibak sastra

menyimak tulisan ayu utami, di kompas, minggu, 28 oktober 2007; ‘kanon sastra: siapa takut?’ sungguh menjadi menarik. kenapa? pertama, paling tidak ada sebuah pemikiran untuk mengembalikan dan membangkitkan kembali sastra indonesia. kedua, ada upaya untuk lebih menemukan keindonesiaan lewat berbagai karya di tengah-tengah karya-karya sastra yang memproduksi ‘sampah-sampah’ budaya. ketiga, apresiasi sastra memang sudah selayaknya dipasarkan bukan hanya dikalangan sastrawan dan penulis semata-mata, melainkan harus sampai ke akar masyarakat, pun dengan pendidikan, dan tentunya murid sebagai pembangun budaya bangsa.

penulis memang pernah memikirkan untuk membuat suatu kerangka, pedoman untuk apresiasi sastra, khususnya di sekolah. bagaimana kemudian sekolah menjadi lahan subur bagi tumbuhnya siswa-siswi yang apresiatif dan peduli bukan hanya terhadap permasalahan lingkungan, negara, masyarakat, melainkan harus sampai kepada pemahaman akan manusia sebagai pembangun dan sekaligus ‘perusak dunia’.

tidak salah kemudian, jika ayu utami berusaha menegakkan benang yang bernama sastra. benang yang selama ini kusut oleh permasalahan bangsa, dosa bangsa. toh, langkah ini bukan sebagai awal, namun jika sebatas pemikiran dan tanpa realitas, jangan-jangan kemudian akan menunculkan sebuah teori sastra yang akan muncul hanya sebagai materi pembelajaran di sekolah-sekolah.  atau memang kanon sendiri sebatas mimpi tanpa ada kerangka untuk membangunnya.

sebagai sebuah harapan, tidak salah jika pekerja-pekerja seni dan budaya membawa kanon masing-masing ke sebuah medan yang akan menentukan bangkitnya sebuah budaya dan sastra. tanpa ini, penulis yakin, bahwa sastra akan dikemudian oleh orang-orang yang peduli pilitik, ekonomi belaka. dan mimpi tinggal harapan kosong.

 tugas terpenting sekarang adalah, apakah kita, pekerja seni, sastra,  dan budaya tersebut peduli dengan bongkahan-bongkahan tanah subur negeri ini, atau hanya terjebak pada idealisme politik, ekonomi belaka. 

sastra; jalan kecil tiada akhir

apa yang indah dengan sebuah puisi. apa yang indah menarik dengan sebuah cerita pendek. dan apa yang menantang dari sebuah novel. bukankah sebuah karya; entah itu puisi, cerpen ataupun novel, tidak lain hanyalah sebuah rekaan?

lalu ada apa dengan sebuah rekaan? yah, ketika berhadapan dengan rekaan, maka kita selalu akan berhadapan dengan sebuah dunia. dunia yang tak akan pernah habis;ditulis, dibahas, dikupas, atau ‘diabaikan’.

 dunia tanpa batas itulah yang akan mengantar seorang anak kecil memasuki pintu yang mengantarnya bisa menentukan; ia harus masuk ke dapur, ia harus masuk ke kamar tidur, atau ia harus masuk ke tempat belajarnya. atau ia harus diam dan merengek di tengah-tengah keluarga besarnya.

pun sebagai sebuah rekaan akankah ia mampu mempersembahkan sebuah dunia nyata, atau sekedar padanan dunia maya yang tidak ada batasnya ini. memang semua akan kembali kepada sebuah pemahaman, bagaimana sebuah dunia itu disebut nyata, bagaimana sebuah dunia itu disebut maya. harapan yang muncul adalah, dunia sastra tidak sekedar menjadi maya, namun akan menjadi dunia tersendiri, dunia nyata dimata anak-anak, dunia nyata di orang tua dan dunia nyata di mata masyarakat. inilah tantangan bagi penulis, sastrawan, masyarakat sastra, penikmat sastra dan guru.

sebatas

sebatas apa sebuah kejujuran

sebatas bohongku padamu

sebatas apa kebajikan

sebatas luka

sebatas apa cinta

sebatas luka

sebatas apa agama

sebatas perang

sebatas apa tuhan

sebatas cerita

Ketika ku

Ketika ku terdiam bisu

tengadah malam terbitkan erat

sayup tangan ternganga

ucap pelan syairkan tuhan

damaimu

damaiku

damai malamku

dan ketika ku terjaga

syair tuhan terbata-bata

sesak dalam dada

pautkan harapan

dalam tuhan berbeda